Senin, 17 September 2018

Orientasi Politik NU semata-mata demi kemashlahatan ummat

CahayaDakwahNU.com~Kota Serang Baru
Sembilah puluh dua Tahun sejak di dirikannya pada 1926 silam,  NU mendayung bahtera organisasi. Tentu NU telah menjaring pengalaman hidup yg penuh liku-liku. Kadang berada di roda atas, bawah, pahit getir dan jatuh bangun, semua sudah dialami oleh NU. Kelanggengan dan eksistensi NU hingga hari ini merupakan pelajaran penting dan berharga, betapa cekatan dan lincahnya NU mendayung bahtera ditengah hentakan gelombang dan badai.

Secara umum, NU telah kenyang membangun dirinya sebagai  Jam'iyyah diniyyah ( organisasi keagamaan) ataupun bertarung di arena politik praktis ( tahun 52 - 67). Artinya berbagai dunia pernah di geluti NU, dan secara kasat mata tampak berubah ubah.

Keputusan dari satu wilayah perjuangan ke wilayah yang lain, tentu membutuhkan kejeniusan sekaligus ketajaman berpikir dan bertindak meskipun di sisi lain ada orang yang menganggap sebagai oportunis dan tidak berprinsip. Padahal kalau orang lain mau memahami NU secara komprehensif dan holistik (secara utuh dan menyeluruh), maka akan sampai lah ia pada kesimpulan bahwa sikap NU sejak awal hingga saat ini selalu konsisten berpegang pada ideologi politik keagamaan yg sudah lama dianutnya, yakni mendasarkan diri pada fiqih sunni klasik yg meletakkan prioritas tertinggi pada perlindungan posisi Islam dan ummatnya.


Oleh karena itu,  para elit NU selalu bersikap hati-hati tapi luwes/fleksibel dan memilih jalan tengah /moderat ketimbang jalan frontal dan radikal. Jalan yang di tempuh NU selalu mengacu pada pencapaian mashlahat ( kebaikan ) dan menjauhi mafsadat ( kerusakan).

Pemikiran politik NU

Sikap politik Nahdhatul Ulama (NU) sering disalahpahami banyak pihak dari dulu hingga kini, disebabkan kurangnya pengetahuan yang mendalam mengenai kultur politik dan pemikiran politik NU. pada era 1950an hingga 1960an, dimana NU aktif berpolitik sebagai partai politik, sebagian  penelitian mengenai sikap politik NU dilakukan dari sudut pandang kalangan islam modernis dan kalangan barat. Bias sudut pandang kerap terjadi karena kontestasi panjang kalangan modernis dengan NU sebagai representasi islam tradisional. Apalagi, keluarnya NU dari Masyumi yang semula bertujuan menjadi wadah tunggal aspirasi politik umat islam pasca kemerdekaan. Masyumi menyisakan kalangan islam modernis, yang kian bias dalam memandang sikap politik NU yang terkadang menerima koalisi dengan kalangan kiri dalam pemerintahan, sesuatu yang getol ditolak Masyumi. Atau sikap politik NU yang berubah-ubah seperti bersedia bergabung dalam ideologi Nasionalis-Agama-Komunis (Nasakom) ala Soekarno, namun di akhir pemerintahannya berlawan arah dengan Soekarno. Maka stempel yang sering diberikan kepada NU seperti berpolitik tanpa prinsip atau  oportunis atau mencari keuntungan pribadi.

Pemikiran Politik NU jelas berbeda dengan kalangan moernis dan wahabi yang mengambil inspirasi dari pemikiran ulama pembaharu dari Tmur Tengah seperti Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha. Juga berbeda dengan politiknya kaum  Islam politik yang menjadikan Hasan al Banna ( Ikhwanul Muslimin ) atau Taqiyuddin An-Nabhani ( Hizbut Tahrir ) sebagai rujukannya.  NU mendasarkan pemikirannya dari ulama abad pertengahan, seperti Imam Al-Mawardi dan Imam Al-Ghazali dalam hal politik, Imam Syafii dalam hal fiqih, Imam Al-Asyari dan Imam Al-Matuduri dalam hal aqidah, serta Imam Junaid Al-Baghdadi dan Imam Al-Ghazali dalam hal tasawuf. Oleh karenanya, untuk memahami pemikiran politik NU, peneliti harus mampu memahami sumber-sumber tersebut, persis seperti misalnya seorang peneliti harus memahami ajaran Marxisme untuk memahami pemikiran dan sikap politik PKI. Tanpa penahaman akan sumber yang dijadikan rujukan bagi ulama NU dalam menentukan sikap politiknya, maka kemungkinan besar seorang peneliti (apalagi orang awam) akan gagal memahami sikap politik NU, sehingga salah dalam menyimpulkan dan bias dalam memberi penilaian.

Pemikiran politik NU yang mendasarkan diri pada literatur fiqih klasik dari ulama abad pertengahan, sangat diwarnai oleh pemahaman ulama (kiai) yang umumnya ahli dalam bidang fiqih. Dasar bagi pemikiran politik NU, secara umum dapat diringkas dalam beberapa kaidah fiqih berikut:

–.درء المفاسد مقدم علي جلب المصالح
 menghindari bahaya lebih diutamakan daripada melaksanakan kebaikan.

اخف الضرين
 Memilih bahaya atau dosa yang paling ringan resikonya jika dihadapkan pada dua pilihan bahaya

الضرر لا يزال بالضرر
 bahaya tidak boleh dihilangkan dengan bahaya lain

سد الذريعة
 Menutup jalan yang berpotensi memunculkan bahaya, dalam rangka amar ma’ruf nahi munkar

الضرورة تبيح المحظورات
 darurat memperbolehkan hal yang semula dilarang

ما لا يدرك كله لا يترك كله
 Apa yang tidak tercapai 100% maka jangan ditinggalkan semuanya.

Dengan kaidah-kaidah di atas, menghasilkan sikap yang bijaksana, luwes, dan moderat (tawasshuth). Sehingga dalam aktivitas politiknya, NU mengedepankan dialog dan kerjasama, mengutamakan stabilitas politik dan efektifitas pemerintahan guna menjamin ketertiban, karena mengutip Al-Ghazali:

"ketertiban beragama hanya mungkin dicapai melalui terwujudnya ketertiban dunia"

NU tidak hanya memikirkan nasib dirinya sendiri, seperti anggapan sebagian kalangan, namun memikirkan kemaslahatan umat. Walau mungkin saja timbul perdebatan apa yang maslahat dan apa yang mafsadat bagi umat, sehingga NU tak ragu mengubah sikapnya bila situasi dan kondisi berubah dan faktor-faktor yang menjadi pertimbangan bagi kemaslahatan umat ikut berubah.

Wallahu A'lam.

Qomari Arisandi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar