Rabu, 19 September 2018

NU dan peranannya dalam membentuk MIAI

CahayaDakwahNU.com 
Tekad NU untuk mempersatukan umat tampaknya betul-betul bulat. Pada tanggal 20-24 Juni 1937, mereka mengundang organisasi Islam yang berada di luar mereka agar menghadiri Kongres NU ke-12 di Malang. Bunyi undangan itu,
 “kemarilah tuan-tuan yang mulia, kemarilah, kunjungilah permusyawaratan kita, marilah kita bermusyawarah tentang apa-apa yang menjadi baiknya Igama (agama –pen) dan umat, baik pun urusan Igamanya, maupun dunianya, sebab dunia ini tempat mengusahakan akhirat dan kebajikan tergantung pula atas beresnya perikeduniaan.”

MIAI dibentuk atas inisiatif Tokoh NU KH. Wahab Hasbullah dan KH. Muhammad Dahlan, Tokoh Muhammadiyah KH. Mas Mansur, dan Tokoh PSII Wondoamiseno. Dalam rapat pembentukan MIAI yang dihadiri beberapa organisasi lokal, tersusun sekretariat pertama yang diisi oleh Wondomiseno sebagai sekretaris, KH. Mas Mansur sebagai bendahara, serta KH. Muhammad Dahlan dan KH. Wahab Hasbullah sebagai anggota.

MIAI sepakat akan menjadi, “tempat permusyawaratan, suatu badan perwakilan yang terdiri dari wakil-wakil atau utusan-utusan dari beberapa perhimpuanan-perhimpunan yang berdasarkan agama Islam di seluruh Indonesia.” Firman Allah dalam surat Ali-Imran ayat 103 menjadi asas pendirian MIAI, “Dan berpegang teguhlah kamu sekalian kepada tali Allah dan janganlah kamu bercerai-berai.”

Tujuan MIAI sebagaimana tercantum dalam anggaran dasarnya, adalah untuk “menggabungkan seluruh organisasi Islam untuk bekerja sama, mendamaikan apabila timbul pertikaian di antara golongan umat Islam Indonesia baik yang telah bergabung di dalam MIAI, maupun yang belum, merapatkan hubungan di antara umat Islam Indonesia dengan umat Islam negara lain, menyelamatkan agama Islam dan umatnya, dan membangun Kongres Muslimin Indonesia.”

Di balik itu, kata Prawoto Mangkusasmito, ada tujuan politik gerakan MIAI yang tersembunyi, yakni mempersatukan gerakan Islam untuk melawan kolonialisme Belanda. Tampaknya ini strategi MIAI agar tak diberangus oleh pemerintah kolonial.

Kemunculan MIAI disambut positif oleh organisasi-organisasi Islam.  maka tahun 1941 jumlah anggota mencapai 22 organisasi, yaitu Nahdlatul Ulama ( NU), PSII, Muhammadiyah, Persis, Al-Irsyad, Jong Islamieten Bond (JIB), Persyarikatan Ulama, Al-Islam (Solo), Al Ittihadul Islamiyah (Sukabumi ), Partai Islam Indonesia (PII), Partai Arab Indonesia, Persatuan Ulama Seluruh Aceh (Singli), Musyawarat Al-Tolibin (Kandangan, Kalimantan), Al-Jami’atul Washliyah (Medan), Nurul Islam (Tanjungpandan Bangka Belitung) dan tujuh anggota luar biasa, yaitu Al-Hidayatul Islamiyah (Banyuwangi), Majelis Ulama Indonesia (Toli-toli, Sulawesi), Persatuan Muslimin Minahasa (Manado), Al-Khairiyah (Surabaya), Persatuan Putera Borneo (Kalimantan), Persatuan India Putera Indonesia dan Persatuan Pelajar Indonesia-Malaya di Mesir (sebuah organisasi mahasiswa Indonesia dan Malaya di Mesir).

Sementara itu, kekuasaan pemerintah kolonial belanda kian terancam. Pada tanggal 8 Desember 1941, Jepang menyerang Pearl Harbor, Hongkong, dan Malaya. Negeri Belanda sepakat mengikuti jejak sekutu-sekutunya dengan menyatakan perang terhadap Jepang. Pada tanggal 10 Januari 1942, Jepang mulai menyerbu Indonesia. Pangkalan  Inggris  di  Singapura  yang  menurut dugaan  tidak  terkalahkan  juga  menyerah  pada tanggal 15  Februari  1942. Di akhir bulan itu pula, balatentara Jepang menghancurkan armada gabungan Belanda, Inggris, Australia , dan Amerika dalam pertempuran di laut Jawa. Pemerintah kolonial pun akhirnya menyerah pada tanggal 8 Maret 1942. Berakhirlah kekuasaan mereka di Indonesia. Kini, kekuasaan Indonesia berada di tangan Jepang.

KH.Wahid Hasyim, di kesempatan lain, mengungkapkan pentingnya persatuan;

“Kita dulu di zaman Belanda hidup berselisih-selisihan antara satu golongan dengan golongan lain. Antara golongan penghulu, golongan ulama, golongan pejabat pemerintah, golongan nasional dan lain-lainnya. Kita telah mengalami pahitnya akibat yang ditimbulkan oleh perselisihan-perselisihan itu. Kita telah merasakan kerugiannya nusa dan bangsa karena akibatnya di adu dombakan Belanda dulu itu. Maka sisa-sisa zaman yang tidak enak itu harus kita buang jauh-jauh dan kita ganti dengan semboyan, ‘Dan jadilah kamu sekalian, wahai hamba-hamba Allah, bersaudara.’”

Bulan Sabit Ditutup Matahari Terbit

Di masa pendudukan Jepang, keberadaan MIAI baru diakui setelah rapat pleno antara tokoh-tokoh Islam dan  pejabat-pejabat Jepang pada bulan September 1942 di hotel Batavia. Dalam rapat itu diputuskan untuk memindahkan markas MIAI dari Surabaya ke pusat pemerintahan militer di Batavia dan memilih Wondoamiseno sebagai ketua MIAI. NU, Muhammadiyah, dan organisasi Islam lainnya dapat berbesar hati  menerima hasil itu.

Kalangan tradisionalis yang hadir: KH. Hasyim Asy’ari, KH. Abdul Wahab Hasbullah, dan KH. Wahid Hasyim. Sementara kalangan modernis diwakili oleh KH. Mas Mansur, Kasmat, Dr. Sukiman, Ki Bagus Hadikusumo, Farid Ma’ruf, dan Moh. Natsir. Para pemimpin PSII yang hadir antara lain Abikusno Tjokrosujoso, Harsono, cokroaminoto dan wondoamiseno.

Sejak lahir kembali di bawah pemerintahan Jepang, MIAI memang dipaksa hidup dalam latar belakang politik Jepang terhadap Islam. Tidak jelas pula kegiatan MIAI yang dibatasi Jepang. Dan Shumubu  sering kali melangkahi gerakan-gerakan politik MIAI.

Meski begitu, tokoh-tokoh MIAI bukanlah kerbau yang dicucuk hidungnya. Pernah Jepang memaksa umat Islam membungkukkan badan ke istana kaisar –yang dalam bahasa Jepang disebut Saikeirei-, kemudian ditentang oleh Haji Rasul. Haji Rasul menegaskan kepada Kolonel Jepang Horie, bahwa penyembahan kaisar dan monotheisme Islam (percaya satu Tuhan) tak dapat disatukan.

Pada bulan September 1943, pemerintahan militer Jepang mengumumkan NU dan Muhammadiyah beserta cabang-cabangnya di seluruh Jawa, telah diberikan status hukum. Pengakuan resmi kalangan tradisionalis dan modernis ini secara otomatis menghilangkan status hukum organisasi Islam lainnya. Dengan begitu MIAI benar-benar diabaikan oleh Jepang. Hingga akhirnya Jepang dengan sewenang-wenang membubarkan MIAI  pada tanggal 24 Oktober 1943. Bulan sabit yang sedang mengorbit itu ditutup oleh matahari terbit.
Meski demikian, MIAI kelak berganti menjadi Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi).

Diolah dari berbagai sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar