Senin, 17 September 2018

Teori Politik Sunni, rujukan politik NU

CahayadakwahNU.com
Dasar formal ideologi NU adalah yurisprudensi Islam yang berasal dari filsafat politik Sunni pada abad pertengahan. Filsafat politik ini sudah mengalami perkembangan selama hampir 500 tahun, diawali pada abad IX oleh para Ulama fiqih seperti al-Baqillani, al-Baghdadi, al-Mawardi, al-Ghazali, Ibnu Taimiyyah, Ibnu Jama'ah dan Ibnu Khaldun.

Masalah yang terus menerus menyita perhatian para ahli fiqih itu adalah runtuhnya kekuasaan kekhalifahan Abbasiyyah di Baghdad. Menurut teori politik Islam pada awalnya, Khalifah adalah pengganti Utusan Alloh (Nabi Saw) yang berarti  merupakan pemimpin spiritual dan pemimpin politik tertinggi ummat Islam. Sudah menjadi tanggung jawab Khalifah untuk menegakkan syariat dan membela ummat, karena hukum Alloh dianggap mencakup semua urusan, baik urusan agama maupun politik/kenegaraan. Karenanya Khalufah juga bertindak sebagai pemimpin shalat jum'at, mengangkat ahli hukum, bertindak sebagai panglima tertinggi tentara, mengatur admistrasi negara dan lain-lain.

Akan tetapi mulai pertengahan abad IX kekuasaan politik Khalifah mulai terpecah belah karena para panglima perang dan kaum bangsawan yang berkuasa didaerah masing-masing berhasil merebut kekuasaan militer. Sejak tahun 945, Dinasti Abbasiyyah terpaksa menyerahkan kekuasaan atas ibu kotanya baghdad kepada para penguasa Buwaihiyah yang berfaham Syiah, kemudian digantikan lagi oleh Dinasti Saljuk, dan akhirnya bangsa mongolia merebut kota baghdad pada 1258, dan para Khalifah Abbasiyyah berperan hanya sebagai boneka rezim Daulah Mamluk Mesir .

Peristiwa-peristiwa tersebut menimbulkan dilema bagi para ahli hukum, apakah mereka akan tetap menegakkan kekuasaan muthlak Khalifah, yang berarti menentang tuntutan-tuntutan para panglima perang, atau menyesuaikan diri dengan penguasa baru. Pilihan pertama beresiko timbulnya kekacauan sosial dan akan menempatkan ummat Islam pada posisi rawan terhadap kekejaman aksi balas dendam dari kekuatan militer yang menang. Sedangkan pilihan kedua menuntut adanya kompromi atas gagasan politik keagamaan Islam yang asli.

Sebagian besar ahli politik Islam memilih bekerja sama dengan penguasa baru. Mereka beralasan bahwa tanggung jawab mereka yang utama adalah menyelamatkan Islam dan ummatnya. Untuk itu, mereka harus berusaha agar ketentraman dan kestabilan masyarakat dapat terjaga karena hal itu dipandang sebagai syarat terciptanya ketaatan dan kerukunan ummat. Hanya dalam masyarakat yang tertib, perintah Alloh dapat di tegakkak dan ummat Islam dalam melaksanakan ibadahnya dengan baik dan nyaman.  Mengutip perkataan al-Ghazali bahwa
" ketertiban beragama hanya mungkin dicapai melalui ketertiban dunia".

Pemerintah yang kuat sangat dibutuhkan agar ajaran agama dapat di tegakkan. Tanpa penguasa atau pemerintah yang efektif, masyarakat akan terjerumus pada kekacauan dan dosa. Karena anarki harus benar-benar dihindari, maka ummat Islam harus patuh dan taat pada pemerintah walaupun pemerintahnya mungkin kurang taat dalam beragama.

Ibnu Jama'ah yang menulis pada akhir pemerintahan Abbasiyyah menyatakan :

" Suatu pemerintah, walaupun tidak disukai, masih lebih baik dari pada tidak ada pemerintahan, dan diantara dua orang jahat kita harus memilih yang lebih sedikit sifat jahatnya".

Kewajiban untuk taat sedemikian kuatnya dalam pandangan para ulama politik Sunni, sehingga pemberontakan  dilarang karena akan membahayakan ummat. Seorang muslim boleh memberikan saran, masukan bahkan kritik pada penguasa yang bertindak tidak benar ( tentunya dengan mekanisme dan aturan yang sesuai dengan ajaran Islam) tapi tidak boleh menghasut ummat untuk memberontak. Satu-satunya pengecualian adalah apabila pemerintah memerintahkan sesuatu yang nyata-nyata dilarang oleh agama, atau melarang ummat Islam beribadah, maka dalam kondisi seperti ini perlawanan bisa dibenarkan.

Menurut Ibnu Batta, pengikut Madzhab Hambali pada abad X, beliau mengatakan :
" Penindasan oleh kaum penindas dan kezaliman oleh kaum yang zalim tidak akan mencelakai orang yang menjaga agamanya dan mengikuti sunnah Rasul, karena ia sendiri selalu bertindak sesuai dengan al-Qur'an dan Sunnah, sebaliknya, orang yang mempunyai pemimpin yang adil, namun ia menjalani kehidupan yang bertentangan dengan al-Qur'an dan Sunnah, maka keadilan sang pemimin tidak akan menyentuhnya ".

Berpegang pada pendapat itu, para ahli hukum secara bertahap mulai merumuskan kembali teori politik Islam untuk merefleksikan kenyataan dalam sejarah, sekaligus juga melestarikan semangat dan unsur-unsur penting yang terkandung dalam hukum Allah.

Para pemimpin dunia/negara yang diakui dan sah, seperti para amir dan sultan diharapkan mengikuti wewenang keagamaan Khalifah Abbasiyyah.

Proses adaptasi dan perumusan kembali teori politik tersebut mengungkapkan beberapa karakteristik penting dalam pemikiran politik Sunni. Yang paling menonjol adalah keluwesan dan moderatisme yang melekat pada teori politik Sunni.

Karakteriistik politik diatas itulah yang agaknya kemudian diadopsi oleh organisasi-organisasi Islam tradisional di berbagai belahan dunia muslim termasuk di Indonesia oleh NU dalam menjelaskan  argumentasi politik yang dianutnya. Tidak hanya mengambil doktrin-doktrin klasik, tetapi juga contoh-contoh historis mengenai sikap memilih diam, berdamai, realistis dan sikap akomodatif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar