Kamis, 20 September 2018

NU mendayung antara Masyumi dan PKI

CahayaDakwahNU.com
Sewaktu NU mengadakan Muktamar ke-20 di Medan Desember 1956 lalu, dimana dalam muktamar tersebut untuk pertama kalinya KH.Idham Chalid terpilih sebagai ketua umum PBNU,  daerah itu sedang bergolak akibat tindakan yang dilakukan oleh Dewan Gajah pimpinan Kol. Simbolon. Di Sumatera Barat, Dewan Banteng pimpinan Kol. Ahmad Husein juga melakukan tindakan sama, sehingga Muktamar berlangsung di bawah dentuman meriam dan tekanan bayonet. Untungnya semua hambatan bisa diatasi. Muktamar selesai dengan lancar, meski beberapa peserta termasuk Idham Cholid dan Djamaluddin Malik  sempat tertahan.

Selesai Muktamar, NU dikejutkan lagi dengan rencana Masyumi untuk menarik para menterinya di kabinet. NU berusaha keras membujuknya agar Masyumi tetap bertahan di kabinet, sebab kalau posisi itu ditinggalkan, maka akan diduduki PKI. Nasehat NU tidak digubris. Masyumi tetap keukeuh menarik diri dari kabinet sehingga mengakibatkan Ali Sasto- Rum-Idham  bubar.

Mengingat keadaan negara waktu itu sedang genting, maka Presiden Soekarno pada 14 Maret 1957 mengumumkan negara dalam keadaan bahaya (SOB). Padahal saat itu sangat dibutuhkan keamanan mengingat para wakil rakyat di Konstituante sedang giatnya menyusun Undang-Undang Dasar Republik Indonesia. Dengan demikian, kehidupa sosial politik menjadi terganggu. Seluruh peraturan normal tidak berjalan lagi dalam mengatur kehidupan Negara.

Persis tengah malam  pada 15 Februari 1958, Kiai Wahab terkejut bukan main mendengar Masyumi bergabung dengan pemberontak Dewan Banteng dan Dewan Gajah yang memproklamirkan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), walaupun yang terlibat dalam mendukung pemberontakan tersebut adalah para tokohnya, bukan partainya. Tanpa menunggu waktu lama, Rais Aam PBNU itu segera mengutus santrinya untuk memanggil Ketua Umum PBNU KH Idham Chalid dan yang lainnya untuk melakukan koordinasi.

Ketika mendapat panggilan dari Rois Aam, tanpa  berpikir panjang Idham Cholid segera bangun dan bergegas berangkat. Tentu saja isterinya kaget di tengah malam seperti itu sang kiai hendak pergi.
Idham hanya bilang pada isterinya, “ saya sedang mendapatkan tugas dari Pangti (Panglima Tertinggi),” demikian Idham biasa menyebut Rais Aam. Sang isteri segera mafhum terhadap watak Pangti-NU yang cerdik dan tak kenal lelah itu sehingga membiarkan suaminya pergi.

Ketika sampai dirumahnya, ternyata di sana telah berkumpul beberapa orang. Kiai Wahab segera menyambut Idham Chalid dan berkata, “ Celaka Masyumi melakukan pemberontakan dan membentuk pemerintahan sendiri dengan cara kekerasan dengan memproklamirkan PRRI di Sumatera Barat”

Wah ini sudah jelas bughot, tidak bisa dibenarkan, lalu apa yang mesti kita lakukan Kiai?” tanya Idham Cholid

Kita harus segera membuat statement (pernyataan/sikap), agar tidak didahului oleh kelompok Syuyuiyin (PKI), karena PKI akan memanfaatkan peristiwa ini untuk menggebuk Masyumi dan umat Islam semuanya. Karena itu, kita mengeluarkan pernyataan sikap ini dengan dua tujuan. Pertama, agar PKI tahu bahwa tidak semua umat Islam setuju dengan pemberontakan PRRI. Kedua, agar dunia internasional jangan sampai menganggap bahwa pemerintah pusat sudah sepenuhnya dikuasasi PKI, sebagaimana dipropagandakan Masyumi dan PSI untuk menggalang dukungan internasional” tandas Kiai Wahab dengan yakin.

Kapan statement kita keluarkan” tanya Kiai Idham

Malam ini kita rapat untuk menyusun draftnya, besok pagi sudah harus diumumkan.” Jawab kiai Wahab tegas, layaknya seorang Pangti.

Walaupun NU selalu bergandengan tangan dengan Masyumi, tetapi soal pemberontakannya tetap tidak setuju. Bagi NU, Masyumi merupakan mitra penting dalam menghadapi PKI. Karena itu ketika Masyumi dibubarkan tahun 1960, akibat pemberontakan PRRI itu, NU merasa sangat kehilangan mitra perjuangan, sehingga NU berjuang sendiri melawan PKI dalam Kabinet dan Nasakom.

Tetapi sejarawan berbicara lain. NU dituduh ikut mendorong pembubaran Masyumi, kemudian dituduh oportunis karena ikut masuk dalam pemerintahan Bung Karno. Padahal di sana NU tidak hanya bertopang dagu menikmati kekuasaan, melainkan berjuang sendirian menyelamatkan Islam, menyelamatkan negara dan termasuk menyelamatkan Bung Karno dari cengkeraman PKI.

Menurut KH. Saifuddin Zuhri dalam bukunya yang berjudul " secercah dakwah, 1983",  bahwa NU keluar dari Masyumi dengan cara yang paling demokratis. Menurut dia, NU telah berunding berulang-ulang, mengirimkan delegasi berkali-kali. Hal ini merupakan prosedur yang belum terjadi sebelumnya dilakukan partai lain saat itu yang melakukan pisah jalan.

Kejadian pada tahun 1952 itu, menurut Kiai Saifuddin, NU membuktikan terori kristalisasi bukanlah perpecahan.

Bagi umat Islam, menyatukan diri dalam satu partai ataukah berdiri sendiri-sendiri bukanlah masalah, karena itu tidak mutlak. Umat Islam selamanya satu, dan sanggup memperlihatkan kesatuannya lebih kompak dan homogen jika keadaan memanggil. Hal itu telah dibuktikan dalam sejarah berulang-ulang,” lanjut Kiai Saifuddin di buku yang sama.

Pada tulisan lain, Kiai Saifuddin juga menjelaskan bahwa keluarnya NU dari Masyumi bukan untuk melemahkan persatuan Islam. Hal itu dibuktikan, pada tahun yang sama, yakni 30 Agustus 1952, NU membentuk Liga Muslimin Indonesia ( LMI)  bersama PSII dan Perti. Selain ketiga partai itu, anggotanya adalah Dar al-Da’wah wal-Irsyad dari Parepare Sulawesi Selatan dan Persyarikatan Tionghoa Islam Indonesia yang berpusat di Makassar

(KH. Abdul Mun’im DZ, Sejarawan NU)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar