Minggu, 23 September 2018

Strategi KH.Wahhab Hasbullah dalam membangun konsolidasi Partai NU

CahayaDakwahNU.com~Kota Serang Baru
Setelah NU memutuskan untuk keluar dari Masyumi, maka pada tahun 1952 NU mendeklarasikan diri  menjadi partai politik.  Keputusan keluarnya NU dari Masyumi dan menjadi Partai Politik dituangkan dalam Muktamar ke 19 di Palembang Sumatra Selatan. Selama proses transformasi menjadi partai, NU mengalami kembali masa keterabaian dan  ketidakaktifan. Jumlah anggotanya mengalami penurunan, bahkan jumlah kepengurusan cabang pun mengalami hal yang sama. Admistrasi NU berantakan, sumber dananya sangat minim dan memprihatinkan, aktivitas ekonomi yang di sponsorinya mengalami kemandekan. Wal hasil NU seperti kembali lagi ke masa-awal berdirinya dalam mencari dukungan dan simpatisan. Adalah Wahid Hasyim yang menjabat sebagai ketua Umum PBNU muda,  sosok yang paling berperan dalam mengelola masa transisi. Wahid Hasyim lah yang membenahi admistrasi pusat, memimpin negoisasi dengan Masyumi mengenai pemisahan organisasi, menjadi aktor dan arsitek berdirinya wadah Ummat Islam baru bernama LMI ( Liga Muslimin Indonesia), sekaligus menjadi pendorong pelaksanaan rekruitmen dan pembuatan kebijakan.

Tentang kondisi NU yang sedang mengalami masa transisi ini, maka Wahid Hasyim pernah mengatakan:
" jika saya terpaksa meninggalkan jakarta ( untuk periode tertentu), apakah ada orang yang bersedia "menyusui" NU,  yang dalam banyak hal, sedang berbalik menjadi bayi lagi walaupun usianya sudah dua puluh delapan tahun? Dan untuk "menyusui" NU, diperlukan susu penuh vitamin, sementara kebanyakan pemimpin/ tokoh kita sangat enggan  memberikan vitamin".

Salah satu tugas penting para pimpinan NU setelah berdiri menjadi partai politik adalah perlu kembali mengubah NU dari paradigma ormas menjadi paradigma partai politik. Ini sebuah pekerjaan besar,  sehingga para pimpinan partai tertinggi NU seperti Kiai Wahab Chasbullah dan KH Idham Cholid sendiri yang melakukan turba untuk konsolidasi partai NU ke Jawa Tengah, dan berbagai wilayah lainnya pada 1953. Langkah ini penting untuk menghadapi Pemilu 1955.

Namun, walaupun keduanya telah mengirim telegram kepada para pengurus cabang di sebuah wilayah, tetapi tidak satupun aktivis partai yang menjemput mereka ke stasiun kereta api. Kebetulan ketua NU setempat adalah pegawai Departemen Agama, sementara Menteri Agamanya adalah Fakih Usman dari Masyumi. Ketua NU daerah itu ketakutan menunjukan identitas dan loyalitas ke NU annya  karena terancam posisinya di Depag akan digeser.

Saat itu mengaku NU memang masih riskan karena setelah organisasi ini keluar dari Masyumi langsung dituduh memecah belah ukhuwah Islamiyah. Padahal di Masyumi NU tidak pernah dihargai, hanya dijadikan pendulang suara. Sementara ketika PSII ( Partai Sarikat Islam Indonesia )  keluar dari Masyumi tidak pernah dituduh demikian. Maka banyak orang NU di Masyumi yang belum berani menunjukan identitas ke-NU-annya.

Setelah mereka berdua berputar-putar ke kota, Idham Cholid menawarkan pada kiai Wahab untuk beristirahat di losmen. Sang kiai menolak; lebih baik kita sembahyang dulu ke masjid. Ternya ke masjid tidak hanya untuk sembahyang, kesempatan itu digunakan Kiai Wahab untuk menyelidiki keadaan. Kiai itu menanyakan pada jemaah tentang kondisi NU dan Masyumi di daerah itu. Akhirnya semua kejanggalan itu terkuak, ternyata para tokoh NU yang kebetulan menjadi pemimpin di Depag setempat telah pergi ke luar daerah, untuk mengindari pertemuan dengan para pimpinan NU itu.

Menghadapi situasi ini Kiai Wahab tidak kalut, dengan tenang ia berusaha mengontak satu persatu para pimpinan NU tadi. Setelah berhasil mengkoordinasi mereka, lalu direncanakan mengadakan rapat kerja dengan para tokoh NU setempat termasuk dengan pejabat Depag yang menghindar tadi.

Pertemuan itu dirahasiakan, hanya dihadiri sembilan orang tetapi dianggap cukup banyak oleh kiai Wahab. Walaupun hanya dihadiri sembilan orang, tetapi karena pidato Kiai Wahab yang berapi-api itu melahirkan suasananya heroik, sehingga terasa terasa dihadiri oleh sembilan ribu orang. Demikian menurut kesaksian KH Idham Cholid, sambil berujar :
"yang banyak belum tentu baik, tetapi yang baik selalu banyak berarti”.

Setelah para aktivis NU mendapat brifing dari Kiai Wahab, sejak saat itu mereka tidak lagi canggung mendukung partai NU. Dengan jaminan pribadi dari Kiai Wahab. Mereka tidak khawatir lagi diintimidasi oleh Masyumi, bahkan telah siap tempur menghadapi Pemilu 1955. Di situlah letak kesuksesan NU dalama mengelola politik, di mana para kiai langsung bersentuhan dengan masyarakat bawah, sehingga rakyat termotivasi dan selalu optimis, sehingga menghasilkan kemenangan besar.

Disadur dari buku Biografi KH Idham Cholid,
Pustaka Indonesia Satu, 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar