Minggu, 30 September 2018

Ketika NU dianggap khianati Islam dan mendukung Republik Kafir

CahayaDakwahNU~Kota Serang Baru 
Saat bertugas sebagai Koordinator Majelis Pimpinan Haji di Mekah pada 1952, KH Idham Chalid mendapatkan telegram dari PBNU. Isinya, NU resmi menjadi partai politik. Dia pun diminta segera menyurati pimpinan DPR untuk mengabarkan keluar dari Fraksi Masyumi.
Idham, yang tengah bersiap melakukan tawaf di Masjidil Haram, lantas mengundang tiga koleganya, yakni KH Siradj, KH Dahlan, dan KH Masruni, untuk berdoa.

"Wahai Tuhanku, jikalau berdirinya NU sampai menjadi partai politik memisahkan diri dari Masyumi akan membawa manfaat kepada agama-MU, berilah kami kekuatan. Jikalau akan membawa mudlarat kepada agama-Mu yang suci ini, maka mohon berilah kesadaran cepat kepada kami dan mohon distoplah. Kalau NU bermanfaat, mohon diberi kekuatan terus, jikalau tidak, biar bubar saja," 

demikian doa mereka kala itu seperti terungkap dalam buku biografi Idham Chalid, "Tanggung Jawab Politik NU dalam Sejarah".

Singkat kisah, NU menjadi peserta Pemilu 1955 dan meraih suara di luar perkiraan banyak pihak karena berhasil mengungguli PKI. Dalam kabinet Ali Sastroamidjojo II, Idham kemudian dipercaya menjadi Wakil Perdana Menteri II merangkap Kepala Badan Keamanan.

"Tugas saya paling berat adalah menghadapi gerombolan yang membawa dalil-dalil agama Islam," kata Idham masih dalam buku yang disunting Aried Mudatsir Mandan itu. Gerombolan yang dimaksud antara lain Darul Islam ( DI ) Kartosuwiryo di Jawa Barat, Ibnu Hadjar di Kalimantan Selatan, Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan, dan Tengku Daud Beureueh di Aceh.

Mereka kerap melakukan aksi-aksi teror dan kekerasan terhadap masyarakat muslim sekalipun yang dianggap berbeda. Idham pun tak luput dari upaya pembunuhan. Saat menginap di Puncak, sepulang dari Bandung menuju Jakarta, misalnya, Ketua I PBNU itu ditembaki gerombolan DI/TII dari arah perbukitan. Dia tiarap di kolong ranjang sehingga luput dari terjangan peluru.

Begitu pun saat naik kereta api menuju Jawa Timur, gerombolan DI/TII pernah menembaki rangkaian kereta saat melintas antara Gambir dan Pegangsaan. Beruntung, peluru hanya mengenai ujung kopiah ajudannya, H Djumaksum. "Sasaran tembakan pastilah saya, menteri yang mengurusi keamanan," kata Idham.
Dia menilai kehadiran DI/TII sangat merugikan Islam karena aksi-aksinya bersifat provokatif dan anarkistis. Banyak pemeluk Islam yang menjadi korban kekejaman mereka. Beberapa pimpinan cabang NU di Jawa Barat dibakar rumahnya oleh DI/TII, bahkan ada yang ditembak mati. Suatu rapat NU pernah diserang mereka.

Penyebab semua itu terkait dengan keputusan NU keluar dari Masyumi. Mereka menganggap NU sebagai pengkhianat Islam dan menjadi musuh utama DI/TII karena keputusan tersebut.
"Mereka menganggap NU membantu Republik Indonesia Kafir (RIK). Apalagi salah seorang ketuanya menjadi wakil perdana menteri yang memegang urusan keamanan," kata Idham.

Guna meredam DI/TII, selain mengerahkan berbagai pasukan tentara, Idham melibatkan para kiai dengan membentuk KPK (Kiai-kiai Pembantu Keamanan). KPK diketuai KH Muslich dari Jakarta, dengan anggota sejumlah kiai di tiap daerah yang dideteksi ada aktivitas bawah tanah DI/TII.

Gerakan DI/TII oleh Kartosoewirjo terhenti saat imam DI/TII tersebut ditagkap oleh TNI pada 4 Juni 1962. Kartosoewirjo divonis mati pada tanggal 16 Agustus 1962 di usianya yang ke 57 tahun.
Pemberontakan DI/TII pernah terjadi di beberapa wilayah di Indonesia yang juga ditandai dengan didirikannya pertama kali DI/TII di wlayah tersebut. Di antaranya, Jawa Barat pada tanggal 25 Januari 1949, Jawa Tengah 23 Agustus 1949, Kalimantan selatan Oktober 1950, Sulawesi Selatan 1951, dan Aceh dimulai pada tanggal 20 September 1953.
Sejak saat itu, keberadaan perkumpulan anti pacasila ini dianggap sebagai pemberontak yang kelakuannya sama dengan PKI. Sama-sama membuat kekacauan. Sama-sama menyusahkan rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar