Jumat, 12 Oktober 2018

Antara dunia tutur, tulis, tonton dan share

CahayaDakwahNU.com~Kota Serang Baru
Dunia sudah berlangsung dalam 4 tahap. Pertama, dunia tutur, dimana segalanya saat itu disampaikan secara lisan (gethok tular ). Dunia tutur dikenal ketika belum adanya tulisan, dan yang dominan saat itu adalah mendengar.

Kedua, yaitu dunia tulis, dimana saat itu sudah ada keseimbangan antara membaca dan menulis, yang mana keduanya merupakan kemampuan produktif yang mampu membnagun sebuah peradaban.

Ketiga, yaitu dunia tonton. Ada perbedaan mendasar antara menonton, membaca dan mendengar. Ketika kita mendengar, ada aktivitas individu untuk berimajinasi. Pun demikian ketika kita membaca. Sedangkan ketika menonton, kita tahu banyak hal tetapi tidak melakukan apa-apa, yang outputnya adalah "anak nongkrong", baik nongkrong dijalan maupun nongkrong depan tv dan gadget. Dunia tonton tidak mampu mencetak  "generasi pembangun atau penggerak" sebagaimana dunia baca/tulis itu masih eksis.

Keempat, yaitu dunia Share. Ketika kita mendengar, yang dimiliki adalah sublimasi dan kondensasi. Misalkan, Mahabharata masuk ke Indonesia butuh sekitar 2.000 tahun. Kristen masuk ke Indonesia butuh waktu sekitar 1.000 tahun. Dan Islam masuk ke Indonesia  butuh waktu sekitar 500 tahun. Sedangkan Harry Potter ketika masuk ke Indonesia hanya butuh waktu tidak lebih dari 1 hari. Mengapa bisa demikian? Karena tidak ada kesempatan untuk   "mengendapkan" dan  "mencerna". Dewasa ini, kemampuan kita untuk mengendapkan segala apa yang kita terima sangatlah lemah. Kreativitas kultural pun akhirnya tidak dapat muncul. Keahlian kita untuk " meramu" sudah dimatikan, dan bergeser menjadi keahlian untuk " ngemplok" (langsung telan mentah-mentah).

Dalam dunia Share kita cenderung hanya meneruskan/share postingan/tulisan orang lain di medsos tanpa didasari sikap kritis dan mencari tau benar tidaknya tulisan tersebut. Kadang sambil share diiringi dengan komentar, itupun kebanyakan tidak bermutu, karena bukan berpendapat ataupun berupa analisa. Ada perbedaan yang mendasar antara komentar dan pendapat. Dalam berpendapat, ada olah pikir atau kemampuan untuk mencerna sesuatu. Mengeja terlebih dahulu tentang apa yang kita ketahui. Sedangkan dalam berkomentar, hal itu tidak ditemukan, karena umumnya asal-asalan.

Ketika seseorang lebih suka share postingan-postingan yang ia terima tanpa ada pengendapan dan pencernaan terlebih dahulu, maka akibatnya berita-berita hoax menjadi merajalela seperti yang sekarang kita lihat sekarang.

Seribu tahun yang lalu, hal yang paling sulit adalah menemukan jawaban atas pertanyaan. Oleh karenanya tugas filsuf yang paling utama adalah memberikan jawaban atas pertanyaan. Sedangkan dalam era medsos seperti sekarang ini, jawaban dapat mudah ditemukan di media-media elektronik. Sehingga kemampuan yang  harus kita latih sekarang bukanlah kemampuan menjawab, namun kemampuan bertanya dan bersikap kritis.

Jika dikaitkan dengan pendapat sufi, bahwa ketika dunia berisikseperti dewasa ini, peganglah tiga hal:
Pertama, tanyakan dulu apa benar?
Kedua, apakah perlu?
Dan yang ketiga, apakah patut?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar