Muhammad Al Fatih adalah sultan ke 7 dari dinasti Turki Utsmani, putra dari Sultan Murad II. Ketika menaklukan ibukota Romawi yaitu Konstantinopel ( Istambul) , usianya baru 24 tahun.
Bagaimana Muhammad Al Fatih bisa menjadi seorang Sultan yang luar biasa sehingga bisa membuktikan sabda Nabi Muhammad tentang penaklukan ibukota Romawawi? Ternyata kehebatan seorang Muhammad Al Fatih dipengaruhi oleh tiga orang hebat disekelilingnya, yaitu :
1. Sang ayah ( Sultan Murad II)
2. Syaikh Ahmad Al Kurani ( Guru pertama)
3. Syaikh Aaq Syamsuddin ( Guru kedua).
Sesungguhnya Al Fatih bukanlah anak yg terbilang istimewa dimasa kecilnya. Ayahnya justru mengeluhkan Al Fatih kecil yang malas belajar. Terlahir sebagai anak Sultan, ternyata sedikit banyak membuatnya merasa bisa bersikap dan berbuat semaunya. Al Fatih merasa tak seorangpun berani memarahi dan melarangnya. Guru silih berganti tapi tak kunjung ada yang pas.
Hal ini rupanya tidak luput dari pengamatan Sultan Murad II, sang ayah. Ditengah kebingungan itulah sultan mendapatkan informasi tentang seorang ulama yang bijak bernama Ahmad Al Kurani. Ulama ini kemudian dipanggil ke Istana oleh Sultan. Setelah bertemu, Sultan pun menyampaikan perihal anaknya dan berbagai keluhan tentang anaknya. Sang guru menyimak dengan seksama keluhan Sultan. Diakhir pembicaraan, Sultan menyerahkan satu pemukul kecil kepada sang guru untuk dipergunakan seandainya Al Fatih kecil tidak mau mendengarkan nasehat dan perintahnya. Sang guru berusaha menghormati permintaan sekaligus usulan Sultan tsb.
Tibalah hari pertama Syaikh Ahmad mengajar Al Fatih. Benar saja, Al Fatih bersikap dan bertindak semaunya. Tidak ada penghargaan sedikitpun pada sang guru, Al Fatih bahkan mentertawakan gurunya. Maka pelajaran pertamanya adalah merasakan sabetan sang guru, sesuai amanah ayahnya Al Fatih.
Dahsyat, teguran itu membuat Al Fatih kecil terkejut. Benar - benar diluar dugaan. Selama ini Al Fatih mengira tidak ada seorang guru pun yg berani bersikap demikian terhadapnya. Semua guru menuruti apapun keinginannya. Setelah kejadian itu, Al Fatih kecil selalu menuruti apa yg diperintahkan oleh sang guru. Al Fatih pun belajar dengan tekun setiap ilmu yg disampaikan padanya.
Syaikh Ahmad berhasil menekuk jiwa Al Fatih kecil. Selama ini ia beranggapan bahwa ia dapat berbuat apa saja sekehendak hatinya lantaran ayahnya adalah seorang raja besar yang sangat menyayanginya sehingga akan selalu berpihak padanya. Ternyata anggapannya keliru. Ia tidak tau bahwa ayahnya adalah raja yang bijak dan ayah yg bertanggung jawab.
Pukulan itu telah menghentak jiwanya, sekaligus menyadarkannya tentang siapa sesungguhnya dirinya, yakni hanya seorang anak kecil yang bukan penguasa. Dan yg terpenting semua peristiwa itu telah membuka hatinya untuk menerima ilmu dan berubah menjadi pribadi yang lebih baik lagi.
Ini adalah sebuah pelajaran besar bagi keluarga muslim hari ini. Ketika orang tua menemukan kesulitan dan keterbatasan dalam mendidik anak, maka dia harus mencari guru yang memiliki kapasitas keilmuan yang mempuni dan terercaya untuk mendidik anaknya. Mengikhlaskan dan bertawakal kepada Allah ketika menyerahkan anaknya dengan kepercayaan penuh kepada sang guru. Bahkan ketika sang guru harus melakukan tindakan tegas yang sejalan dengan ajaran Islam, sebagaimana keikhlasan seorang Sultan Murad II ketika menyerahkan anaknya kepada Syaikh Ahmad untuk dididik.
Sayangnya hari ini, kebanyakan orang tua tidak memahami akan hal ini, sehingga jangankan memberikan kepercayaan penuh kepada seorang guru, justru yang terjadi orang tua mudah marah begitu mendengar pengaduan anaknya ketika dimarahi atau mendapatkan hukuman dari gurunya. Padahal terkadang tidak semua pengaduan anaknya itu benar, atau kalaupun benar, orang tua tidak tahu alasan kenapa seorang guru memberikan hukuman kepada anaknya. Sebab, apapun yang dilakukan oleh seorang guru meskipun berupa hukuman, maka pada dasarnya adalah dalam rangka untuk mendidik ( ta'dib) bukan dengan tujuan menyakiti.
RBQ MAFAZA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar